GERAKAN PERLAWANAN RAKYAT KENDENG
Siang itu, 30 Januari 2009, tampak lima perempuan setengah
baya dan satu perempuan lanjut usia dari Pati tiba di kantor KontraS. Mereka
adalah Sunarti, Sundarsih, Tasripah, Suwati, Mbah Rasmi, dan Samini. Ini adalah
kali pertama mereka mengunjungi Ibu Kota, melihat gedung-gedung tinggi, jalanan
macet, serta kantor-kantor pusat pemerintahan. Panasnya Jakarta tak menyurutkan
langkah Sunarti dan kawan-kawannya dalam menyuarakan tuntutan keadilan atas
tindak kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah terhadap saudara-saudara
mereka di kawasan pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, akibat penolakan pendirian
pabrik semen di tanah mereka. Semangat mereka adalah semangat mewujudkan apa
yang di katakan Pramoedya sebagai “hari esok yang lebih baik”.
Sunarti dan kawan-kawannya, merasa suaranya tidak lagi
didengar oleh pemerintah Kabupaten Pati dan Propinsi Jawa Tengah. Oleh sebab
itu, mereka bertandang ke Jakarta untuk menegaskan keinginannya untuk tetap
hidup, bertani, berladang, dan berternak. Suara-suara itu adalah teriakan
perempuan pegunungan Kendeng yang menginginan Kendeng harus tetap lestari, demi
anak cucu mereka. Mbak Narti (nama panggilan Sunarti) bercerita bagaimana
perubahan sikap masyarakat pegunungan Kendeng ketika mendapati kabar bahwa di
daerahnya akan dibangun pabrik semen. “Setelah ada isu pendirian pabrik,
seluruh warga di Kecamatan Sukolilo menjadi resah dan gelisah, petani akan
terancam, karena disitu ada sumber mata air, yang ketika akan ditambang
takutnya akan hilang,” cerita Sunarti dalam konfrensi pers di KontraS, Jakarta,
(30/1/2009).
Selain itu, perempuan yang sehari-hari adalah seorang petani
ini mengaku risau dan takut kehilangan lahan pertaniannya dan timbulnya
bencana. “Saya takut kalau sudah ada pertambangan terjadi banjir, tanah
longsor. Sebagai perwakilan dari warga saya menolak pabrik semen, di daerah
saya itu Pati Bumi Mina Tani jangan dijadikan Pati Bumi Mina Semen. Kami
masyarakat Sukolilo peduli lingkungan bukan peduli uang dan kebohongan,”
lanjutnya.
Semangat perempuan Pati mengingatkan kita pada perjuangan
ibu-ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli saat reformasi 1998. Saat itu
mahasiswa, aktivis, warga bersama-sama menjatuhkan rezim otoriter dimana
demokrasi dibungkam, kekuasaan terpusat, negara dililit
korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dan pelanggaran HAM berkelanjutan selama 32
tahun. Pada masa ini, gerakan perempuan melalui Suara Ibu Peduli (SIP)
memberikan andil yang cukup besar dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil.
SIP pertamakali muncul dalam aksi protes kenaikan harga susu pada 23 Februari
1998. Dalam mendukung reformasi 1998, SIP mengumpulkan nasi bungkus bagi para
mahasiswa dan aktivis yang berjuang pada waktu itu.
Menurut Yuniyati Chuzaifah Ketua Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) saat itu, perempuan menggunakan
pendekatan domestik dalam mewujudkan tujuan bersamanya. “Menjelang reformasi,
ada siaga satu, gerakan perempuan masih eksis turun ke jalan. Kita berefleksi,
geliat reformasi semakin kencang, tapi Suara Ibu Peduli cuma bagi-bagi nasi….”
tutur Yuni (www.komnasperempuan.org, 14/5/2010).
Berkaca dari gerakan SIP, tulisan ini tidak bermaksud untuk
membandingkan dua persitiwa tersebut. Namun, lebih ingin menggali dua persoalan
esensial, yaitu pertama apakah perjuangan perempuan Kendeng sudah dapat disebut
sebagai gerakan? Kedua, jika ibu-ibu yang tergabung dalam SIP mampu memberikan
andil dalam menumbangkan rezim otoriter yang sudah bertahan 32 tahun, dan
mampukah perempuan Kendeng melakukan hal yang sama?
Rencana Pembangunan Pabrik Semen
Jika anda memasuki wilayah kabupaten Pati, Propinsi Jawa
Tengah, anda akan disambut oleh tugu bertuliskan “Selamat Datang Di Kota Pati,
Bumi Mina Tani”. Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa dan
di bagian timur Propinsi Jawa Tengah.
Berbatasan dengan Kabupaten Jepara di sebelah utara, Kabupaten
Kudus di sebelah barat, Kabupaten Grobogan di sebelah selatan dan Kabupaten
Rembang di selebah timur. Ungkapan selamat datang ini menjadi simbol yang
menunjukan bahwa Kota Pati adalah bumi bagi para petani. Itu artinya sektor
perekonomian utama di kabupaten Pati dari sektor pertanian1. Secara
administratif Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150.368 hektar yang terdiri
dari 58.749 hektar lahan sawah dan 91.619 hektar lahan bukan sawah2.
Sekitar 27 km dari pusat kota Pati ke arah selatan, anda akan
disambut oleh bentangan pegunungan kapur yang hijau, diantara luasnya sawah.
Itulah kawasan pegunungan Kendeng, yang saat ini menjadi “incaran” beberapa
perusahaan yang memproduksi semen. Pembangunan pabrik semen di kawasan Pati
menjadi pemberitaan di media massa lokal, nasional maupun internasional dari
tahun 2006 sampai 2010. Pasalnya, pembangunan pabrik semen terkesan dipaksakan
oleh pemerintah Kabupaten Pati maupun Propinsi Jawa Tengah, walaupun sebagian
besar warga dicalon lokasi pabrik menolak pendirian pabrik semen.
Rencana pembangunan pabrik semen berada di wilayah
pegunungan Kendeng utara. Secara adminstratif meliputi empat (4) kecamatan
(Sukolilo, Kayen, Gabus dan Margorejo) dan tigabelas (13) desa dengan total
luas kebutuhan lahan 1.560 hektar. Dalam rencana awal, lahan seluas 1.560
hektar tersebut oleh PT. Semen Gresik, Tbk (perusahaan yang berencana membangun
pabrik di Pati) akan digunakan sebagai lahan penambangan batu kapur (900
hektar), lahan penambangan tanah liat (500 hektar), pabrik untuk produksi semen
(75 hektar) dan infrastruktut transportasi /jalan (85 hektar)3.
Ada beberapa alasan mengapa pembangunan pabrik semen ditolak
oleh sebagian besar warga diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Rakyat Tidak Dilibatkan Dalam Pengambilan Keputusan
tentang Pendirian Pabrik
Pada bulan Maret 2008, pemerintah daerah menggelar
sosialisasi pendirian pabrik, namun yang diundang dalam acara tersebut hanya
kepala desa dan muspika, tanpa mengundang warga pemilik tanah yang akan
diproyeksikan menjadi pabrik semen. Melihat hal ini sebagian besar warga merasa
kecewa, apalagi di beberapa tanah warga dipasang patok-patok tanda calon lokasi
pabrik semen. Mendasarkan pada hal ini warga kemudian membuka posko tolak semen
di Kecamatan Sukolilo4. Selanjutnya proses sosialisasi kerangka Analisis Dampak
Lingkungan serta rencana lainnya juga tidak melibatkan warga. Baru setelah ada
aksi dari ribuan orang warga, pihak PT. Semen Gresik mendatangi rumah Mbah
Tarno, sesepuh sedulur sikep yang memiliki andil cukup besar dalam gerakan
tolak semen di Pati5. Pertemuan ini pun bukan dalam rangka menjaring aspirasi,
perwakilan perusahaan hanya meminta ijin akan mendirikan pabrik di kawasan
tersebut.
2. Kawasan Pegunungan Kendeng adalah Kawasan Kars Kelas Satu
Empat kecamatan yang menjadi calon kawasan pabrik semen
adalah lokasi penelitian Pusat Study Manajemen Bencana Universitas Pembangunan
Nasional (UPN)”Veteran” dan Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta.
Kars adalah sebutan umum yang digunakan untuk suatu kawasan dimana batuan
penyusunnya adalah batu gamping yang telah mengalami proses pelarutan.
Dikatakan kawasan kars apabila batu gamping tersebut telah mengalami proses
kartisifikasi yaitu serangkaian proses mulai dari terangkatnya batu gamping
kepermukaan bumi akibat proses endogen, terjadi proses pelarutan di dalam ruang
dan waktu geologi hingga akhirnya menghasilkan bentukan lahan kars.6
Mendasarkan pada ciri serta spesifikasi kawasan kars,
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat klasifikasi kawasan
kars dalam 4 jenis kawasan. Klasifikasi tersebut dimuat dalam KEPMEN ESDM no
1456/K/20/MEM/2000. Kawasan kars kelas satu merupakan kawasan yang dari bentang
alamnya menunjukan bahwa kawasan tersebut harus dilindungi. Pasal 12 peraturan
ini menyebutkan bahwa terhadap kawasan ini tidak boleh ada aktivitas
pertambangan.
Hasil dari penelitian yang dilakukan Pusat Management
Bencana UPN dan ASC menyebutkan bahwa kawasan pegunungan Kendeng utara masuk
dalam kategori kawasan kars aktif kelas satu7. Alasannya, pada kawasan ini
terdapat begitu banyak goa-goa yang menjadi sumber penyimpan mata air, terdapat
sungai bawah tanah yang mengalir sepanjang musim, perbukitan di kawasan
pegunungan Kendeng utara juga merupakan wilayah peresapan air ditambah lagi terdapat
berbagai species tumbuhan maupun hewan langka pada kawasan ini.8
Jika fakta ini tidak diindahkan, dan pembangunan pabrik
tetap memproyeksikan kawasan pegunungan Kendeng Utara, kemungkinan rusaknya
lingkungan, serta resiko bencana semakin tinggi. Jika kawasan kars kelas satu
dihancurkan sebagai bahan baku semen, tidak ada lagi kawasan peresapan air,
sumber-sumber air dan species langka juga akan hilang.
3. Tidak Memperhatikan Kondisi Geografis maupun Sosiologis
Baik Gubernur Jawa Tengah ibidmaupun Bupati Pati menyatakan
alasan pembangunan pabrik semen adalah meningkatkan perekonomian Kabupaten Pati
dengan menghidupkan lahan yang tidak produktif dan terpencil sebagai daerah
industri.9 Warga tak sependapat dengan pemerintah, selama mereka hidup di Pati,
mereka makan hasil bumi yang ditanam pada tanah yang disebut tidak produktif.
Mereka menanam padi, umbi-umbian, jagung, ubi-kayu, kedelai, kacang hijau.
Warga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam. Ini karena mereka merasa
alam sungguh memberikan manfaat bagi kehidupan, sehingga mereka akan menjaga
kelestariannya. Warga Kedumulyo misalnya, mereka mengambil air untuk memasak
langsung dari mata air di Goa Wareh, kolam air yang berada dimulut goa
dijadikan sumber air untuk mandi, serta mencuci.
Kebersamaan serta persaudaraan diantara warga memang sangat
kuat, sehingga walaupun beberapa orang telah memiliki kamar mandi, keluarga
mereka tetap mandi di goa wareh karena sudah menjadi tradisi. Karena kedekatan
itulah setiap akan memasuki bulan Sura (dalam tanggalan jawa) warga akan
mengadakan acara kendurian/syukuran di kawasan goa Wareh sebagai wujud acara
sedekah bumi, yaitu ungkapan syukur pada Sang Pencipta karena masih memberikan
bumi yang menghasilkan.10 Selain itu, pada wilayah calon pabrik semen terdapat
1197 jiwa masyarakat adat sedulur sikep, yang juga masih memegang teguh adat
serta tradisi mereka.11
Pemerintah daerah tidak memperhatikan fakta-fakta ini, fakta
bahwa kearifan lokal masih terjaga kuat di kawasan ini. Keadaan ini seolah-olah
menjadi lebih baik jika pabrik semen berdiri. Padahal terhadap hal ini warga
telah membuat hitungan secara matematis, yang membuat mereka yakin menolak
pendirian pabrik di tanah mereka.
Secara keseluruhan sumber daya alam di wilayah Pegunungan
Kendeng telah memberikan kemanfaatan bagi 91.688 jiwa di kecamatan Sukolilo dan
73.051 jiwa di Kecamatan Kayen. Sementara jika pabrik semen berdiri pada lahan
1.560 Ha akan memberikan dampak langsung pada 5.741,4 ha yang di garap oleh
29.474 orang warga. Pabrik semen hanya membutuhkan 2000 orang sebagai tenaga
konstruksi, serta 1000 orang tenaga operasi, itu pun dengan syarat tingkat
pendidikan tertentu. Pertanyaannya, bagaimana nasib sekitar 27.000 warga
lainnya? akankah mereka menjadi pengangguran?
4. Ada Prosedur Hukum yang dilanggar
Ada yang aneh dari pembangunan pabrik semen di kawasan
sukolilo. Pemerintah Kabupaten Pati dan Gubernur Jawa Tengah telah mengeluarkan
surat ijin lokasi, padahal terhadap rencana pembangunan pabrik ini belum ada
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Seharusnya menurut atas dasar AMDAL yang
dinyatakan layak oleh pemerintah barulah dapat dikeluarkan surat ijin lokasi.
Di sisi lain proses pembangunan terkesan sangat dipaksakan. Beberapa kali
terjadi kekerasan terhadap warga yang menolak pendirian pabrik. Terhadap surat
ijin lokasi warga setempat bersama beberapa lembaga mengajukan gugatan ke
pengadilan tata usaha negara. Sampai tingkat kasasi, ahirnya putusan
memenangkan gugatan warga yang menolak pendirian pabrik semen. Segala perijinan
yang telah dikeluarkan pemerintah propinsi maupun kabupaten dinyatakan batal
demi hukum.
Realitas tersebut menjadi alasan yang kuat yang melandasi
berbagai upaya warga agar pembangunan pabrik semen tidak dilakukan di tanah
mereka. Dari hari ke hari semakin banyak warga yang bergabung dalam gerakan
tolak semen. Bukan karna provokasi atau emosi, mereka justru sadar diri
menghadapi ancaman pengrusakan lingkungan dan penghilangan sumber hidup bagi
anak dan cucu mereka. Tak hanya anak muda, serta laki-laki, perempuan,
anak-anak, orang yang sudah dewasa serta yang lanjut usia pun bersama-sama
berjuang mempertahankan lahan yang menjadi sumber penghidupan ini. Ini adalah
cerita tentang kehidupan sehari-hari perempuan di kawasan pegunungan Kendeng
serta peran mereka yang ikut secara aktif dalam perjuangan ini.
Arti Pegunungan Kendeng Bagi Perempuan
Suatu pagi di desa Kedumulyo, beberapa perempuan berjalan
membawa baskom berisi pakaian, mereka saling menyapa kemudian berjalan bersama
menuju ke Goa Wareh. Salah satu dari perempuan itu bernama Mbak Narti. Di mulut
goa Wareh ada semacam kolam sedalam 1,5 meter, airnya jernih, ada batu besar
tertata ditengahnya. Batu itu adalah tempat ibu-ibu menyikat, menyabuni dan
membersihkan baju-baju yang kotor. Diantara mereka ada yang memilih mandi
dahulu, kali ini Mbak Narti memilih mencuci terlebih dahulu. Yang mandi dulu
langsung melepas pakaian mengenakan kain dan berenang ke dalam kolam. Mba Narti
membasahi pakaian-pakaian, menyabuninya serta membilas. Yang mandi akan masuk
ke kolam yang sangat dekat dari mulut goa, sementara yang mencuci lebih jauh,
agar air sabun cuci tidak mengotori yang sedang mandi. Sambil mandi dan
mencuci, ibu-ibu bercerita banyak hal, dari masak-memasak, anak-anak sampai
dengan rencana pendirian pabrik semen.
Mereka saling berbagi informasi perkembangan terbaru
mengenai pembangunan pabrik semen. Tak lama setelah ibu-ibu selesai mandi,
datang anak-anak sekolah dasar yang sedang mengikuti pelajaran pendidikan
jasmani dan kesehatan (Penjaskes), kali ini pelajaran buat mereka adalah
latihan menggosok gigi. Anak-anak beraksi, tanpa melepas pakaian olahraga
mereka masuk menyelami kolam di Goa Wareh. Ada yang mengikuti intruksi guru
dengan menyikat gigi terlebih dahulu, ada juga yang langsung berenang bebas
sambil “bermain musik” dengan memukul-mukulkan tangan ke dalam air.15 “Memang
mbak, setiap pelajaran Penjaskes yang membutuhkan air, kayak berenang dan
latihan menggosok gigi, anak-anak di bawa ke sini”. Ungkapan dari Ibu Guru
pengajar penjaskes SD N 1 Kedumulyo. “Kenapa nggak disekolah aja bu?” “Wah
susah mba kalau di sekolah nggak cukup kamar mandinya, kalau disini kan
anak-anak lebih bebas.”16
Ketika matahari sudah agak tinggi, Mba Narti pergi ke sawah,
masih di desa Kedumulyo, tepatnya di kaki pegunungan Kendeng. Setibanya di
sawah ternyata telah menunggu beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang telah siap
menggarap sawah. Bapak-bapak biasanya mengerjakan pembajakan sawah, menyebar
biji padi sampai mengambil bibit padi atau ndaud. Ibu-ibu akan menanam (tandur)
padi secara berurutan. Mereka bagai keluarga besar yang sangat peduli satu sama
lain. Sawah yang ada walau di dalam sertifikat tertulis nama perseorangan,
kenyataannya hasilnya tetap dimanfaatkan bersama-sama, tak hanya oleh nama yang
tertulis dalam sertifikat, tetapi juga oleh orang-orang yang ikut membantu
menanam, memanen, tetangga di depan, belakang, atau kanan-kiri rumah. “Asal
gelem ubet wae mesthi isa mangan nek neng kene mbak. Apa maculi tegalan, apa
neng kebon mesti entuk pangan” (Asal mau kerja pasti bisa makan kalau disini
mbak, apa mencangkul pekarangan atau pergi ke pekarangan, pasti bisa dapat
makanan) cerita bu Darti salah satu perempuan yang ikut tandur siang itu.17
Gambaran di atas menunjukan “kedekatan” perempuan dengan
pegunungan Kendeng. Pegunungan Kendeng menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan mereka sehari-hari. Dari gunung Kendeng ini-lah mereka mendapatkan
hasil bumi yang bisa menjadi bahan pangan, air untuk diminum, mencuci serta
mandi, dan hasil bumi lainnya. Menurut Mbak Narti, ketika pertama kali warga,
khususnya ibu-ibu mendengar berita rencana pendirian pabrik semen di tanah
mereka, ada kesedihan, kekhawatiran bahkan ketakutan yang sungguh dalam. Hal
ini karena mereka sungguh dekat dengan sawah, kebun, hutan, goa, tegal yang
sehari-hari menjadi bagian bahkan sumber penghidupan bagi mereka. “Padha
tangisan mbak, ngeten niki, la tiyang tani kok arep ketekan kaya ngono, nganti
ana sing stress nyemplung sumur, tapi mboten pejah” (Pada menangis mbak,
seperti ini, kita semua petani mau kedatangan hal seperti itu, sampai ada
ibu-ibu yang stress dan mencoba bunuh diri masuk ke sumur, tapi tidak
meninggal).
Dari hari ke hari, ketakutan yang mereka rasakan menjadi
penyemangat untuk turut berjuang mempertahankan kawasan pegunungan Kendeng
sebagai sumber penghidupan mereka. Mereka tak ragu lagi ikut aksi, menemui
lurah, bupati hingga gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, Propinsi,
hingga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Mereka datang untuk
menyuarakan pelestarian lingkungan dan penyelamatan sumber hidup bagi anak dan
cucu mereka. “Tanaman Kami Akan Mati Karena Debu Semen”, “Pati Bumi Mina Tani
ora Pati Bumi Mina Semen”, “Aku Butuh Beras Ora Butuh Semen, Aku Wis Nrima Urip
Neng Sawah”(Aku butuh beras tidak butuh semen, aku sudah menerima hidup di
sawah), “Sak Edan Edane Wong Edan Esih Edan Wong Sing Kandha Pabrik Semen Ramah
Lingkungan” (Segila-gilanya orang masih gila yang bilang pabrik semen ramah
lingkungan), tulisan ini adalah suara yang mereka tuangkan di spanduk-spanduk
poster yang mereka bentangkan ketika aksi.
Perempuan Korban Kekerasan Aparat Pemerintah
22 Januari 2009, warga Desa Puri dan desa-desa di sekitarnya
digemparkan dengan datangnya sejumlah orang mengendarai mobil, mem-foto serta
mengukur tanah bengkok di desa tersebut. Berbondong-bondong warga menemui
orang-orang ini, mereka menanyakan ada keperluan apa? dan dari mana? salah satu
penumpang mobil mengaku dari PT. Semen Gresik, keperluan mereka adalah meninjau
lokasi untuk pabrik semen. Warga kemudian meminta klarifikasi dari Kepala Desa
setempat benarkah di tanah bengkok tersebut akan menjadi salah satu lokasi
pendirian pabrik semen? Warga meminta sebelum Kepala Desa menemui dan
memberikan klarifikasi, rombongan peninjau dari pabrik semen tidak boleh
meninggalkan desa terlebih dahulu.
Lebih dari setengah hari warga menunggu kepala desa, tapi
tak juga keluar dari rumahnya. Warga tak melakukan tindak kekerasan terhadap
rombongan ini, hal ini terpaksa mereka lakukan agar bisa bertemu dengan Kepala
Desanya. Ibu-ibu mengelilingi mobil untuk menjaga agar bapak-bapak tidak emosi
terhadap karyawan PT. Semen Gresik ini. “Pas dinten kemis, tanggal 22 januari,
wonten mobil cacahe gangsal, kula ndherek ngadang, wonten barisan pak polisi
kathah, jam setengah pitu, pak polisi nyerang, kula niku wonten sanding mobil
karepe mboten napa-napake, tiyang jaler-jaler niku supados mboten emosi, nek
tiang estri niku kan mboten emosi. Trus Pak polisi nyerang..” (Pas hari Kamis,
tanggal 22 Januari, ada mobil jumlahnya lima, saya ikut menemui, kemudian ada
barisan pak polisi banyak, jam setengah tujuh pak polisi nyerang, saya itu ada
di samping mobil niatnya hanya mengamankan orang-orang semen gresik, menjaga
agar laki-laki tidak emosi, kalau perempuan kan tidak akan emosi. Kemudian pak
polisi malah menyerang..) Ungkap Tasipah salah satu saksi mata peristiwa
tersebut.18 Kira-kira pukul 18.00 ketika bapak-bapak menunaikan shalat Maghrib,
ibu-ibu menjaga dan menunggui rombongan dari pabrik semen, datanglah 250 polisi
berseragam hitam, dan bersenjata lengkap. Sambil meneriakkan cacian, ratusan
polisi ini menyingkirkan warga yang mengelilingi mobil. Mereka menendang,
memukul,menginjak dan melemparkan laki-laki dan perempuan yang tetap bertahan.
Jeritan perempuan dan anak-anak yang panik mulai terdengar. Pelecehan seksual
juga terjadi terhadap Mbah Darsi, 50 tahun warga curung. Pakaiannya diinjak
Polisi hingga dia tidak berpakaian hanya memakai pakaian dalam.
“Nami kulo Sundarsih saking dusun Curug,….. Terus wonten
kedadosan ditekani Pak Brimob niku, 250 cacahe wektu onten kedadosan niku tiang
wedok2 podho linggih teng ngarep mobil niku,….terus Pak Brimob teka, tiang
wedok-wedok dha d semplaki, dijunjungi, diguwaki, dibucal, ditendang, di
dorong, griya-griya sing wonten sanding niku dirusak, dikepruki, bapak pulisi
niku turen badhe njaga keamanan tapi niku malah nggawe keresahane masyarakat,
niku kan mboten sae nggeh pak (sambil menangis) wanci kulo dateng mriki badhe
nyuwun pengadilan pak”
(Nama saya Sundarsih dari desa Curug, …. terus Pak Brimob
datang, perempuan-perempuan di keplak, diangkat, dilempar, ditendang, didorong,
rumah-rumah yang ada didekat itanah itu dirusak, dipolisi, bukankah pak polisi
harusna menjaga keamanan, tetapi malah meresahkan masyarakat, itukan tidak baik
ya pak? maka saya datang ke sini mau meminta keadilan pak).19
Kutipan di atas adalah kesaksian Sundarsih, salah satu
perempuan korban kekerasan aparat keamanan. Polisi melempari batu ke kerumunan
warga yang masih melingkari Mobil-mobil Semen Gresik. Perempuan-perempuan yang
masih berada di lokasi, ditarik dan dimasukkan ke dalam rumah. 30 Orang disekap
di rumah Kamrin, Puri Kedumulyo, 10 orang disekap di rumah Suwoyo, 20 orang
disekap di rumah bayan Kusni dan 15 orang disekap di dalam Mushola dusun Puri,
Kedumulyo. Dalam keadaan warga kocar-kacir dan lari tidak menentu polisi terus
melakukan pengejaran warga laki-laki hingga ke Dusun Kedumulyo dan dusun Curug
yang ternyata juga merusak rumah Jumirah dengan melempari batu.
Perjuangan Perempuan Menolak Pabrik Semen
Pabrik semen belum berdiri, namun kemalangan demi kemalangan
telah menimpa sebagian besar warga di kawasan pegunungan Kendeng. Dari mulai
kabar yang menimbulkan keresahan, teror dari sekelompok orang kepada warga yang
menolak pabrik semen, sampai kekerasan 22 Januari. Kekerasan ini mengakibatkan
kerusakan pada rumah-rumah warga, luka-luka, bahkan trauma. Selain itu kejadian
ini berujung pada penangkapan 9 warga yang aktif menolak pabrik semen. Mereka
di tahan di kepolisian dengan dugaan pengrusakan mobil milik PT. Semen Gresik.
Warga termasuk perempuan pegunungan Kendeng tak berhenti pada ratapan dan
kesedihan, mereka justru terus berjuang mempertahankan hak hidup mereka.
Perjuangan ini telah mereka lakukan sejak tahun 2006.
Awalnya yang aktif dalam perjuangan ini adalah bapak-bapak dari hampir seluruh
desa di Kecamatan Sukolilo dan Kayen. Gerakan perempuan pertama dimotori oleh
seorang perempuan warga Sedulur Sikep bernama Gunarti. Ia menyadarkan bahwa
perjuangan bapak-bapak harus diimbangi dengan perjuangan ibu-ibu. Dalam sebuah
pertemuan Gunarti menjelaskan bahwa setiap hari yang berada di rumah adalah
ibu-ibu. Kalau ibu-ibu tidak paham dengan perjuangan ini, bisa saja ada yang
dilakukan ibu-ibu justru melemahkan perjuangan bapak-bapak. Misalnya, dari
pabrik semen datang dan meminta tandatangan bukti bahwa mereka setuju pada
pendirian pabrik, kalau ibu-ibu mau tanda tangan tapi tidak tahu maksudnya apa,
jelas akan merugikan bapak-bapak.20
Sri salah satu warga desa sanggrahan bercerita bahwa ia
adalah salah satu orang yang tergerak ikut berjuang menolak semen setelah
bertemu dengan Mbak Gunarti. Ia pernah ikut sebuah pertemuan ibu-ibu di depan
Goa Wareh bersama Mbak Gunarti. Mbak Gunarti menyadarkan ibu-ibu bahwa goa
Wareh akan hilang jika pendirian pabrik semen jadi dilaksanakan. Adanya isu
pendirian pabrik semen membuat banyak warga khawatir, Mbak Sri salah satu orang
yang mendengarkan curahan hati tetangga-tetangganya. Ia tak bisa mengungkapkan
dengan kata-kata bagaimana keresahan itu melanda. Menurut Mbak Sri, apa yang
dilakukan oleh Mbak Gunarti sungguh menguatkan warga, dan membuat mereka
tergerak untuk aktif mempertahankan haknya.21
Dari hari ke hari perjuangan penolakan pabrik semen tidak
hanya dihidupi oleh Mbak Gunarti dan Mbak Sri, ada semakin banyak perempuan
dari berbagai desa ikut dalam perjuangan ini. Mereka memiliki satu tekad
mempertahankan tanah, sawah, pekarangan, air, goa, hutan demi kelangsungan
hidup mereka, serta anak dan cucu mereka.
Setiap harinya sambil mencuci, bekerja di kebun dan di
sawah, memasak, kumpul-kumpul di rumah tetangga, ibu-ibu saling berbagi
informasi terkait pendirian pabrik. Mereka juga mengawasi wilayah mereka, jika
ada orang asing masuk ke desa, mereka akan menanyakan apa tujuan kedatangan
orang asing ini. Jika ada informasi yang baru perihal pabrik semen, mereka
getok tular menyebarkan informasi kepada saudara, tetangga, serta teman
seperjuangan mereka. Setelah menerima kabar terbaru mereka akan rembugan
(berdiskusi) hal apa yang akan dilakukan untuk merespon situasi yang ada.
Ketika pemerintah daerah memaksakan pendirian pabrik tanpa
mendengarkan suara penolakan warga, warga semakin giat menyuarakan penolakan
ini melalui berbagai aksi yang mereka gelar di depan Kantor Bupati, Gubernur,
DPRD Kabupaten sampai DPRD Propinsi. Ada ribuan warga yang datang dan
berpartisipasi menyauarakan penolakan, mereka datang menggunakan truk dan
membawa poster serta spanduk. Sebagian besar peserta aksi adalah perempuan. Ada
andil yang cukup besar dari perempuan selain mereka ikut aksi. Di masing-masing
desa, mereka mengumpulkan iuran dari warga untuk menyewa truk dan seluruh
perlengkapan aksi. Mbah Rasmi (80tahun) bercerita bahwa ia akan menjual 2kg
beras untuk setiap kali iuran aksi, walaupun tak lagi muda, ia tetap semangat
untuk ikut pada setiap aksi yang diadakan untuk menolak semen22.
Ibu-ibu sungguh menyadari bahwa ketika aksi berlangsung
teriknya matahari dan lamanya waktu aksi, saudara-saudara mereka membutuhkan
makanan dan minuman sebagai penambah tenaga. Tanpa komando, ibu-ibu akan
memasak yang mereka punya untuk bekal aksi dan di bagikan kepada semua peserta
aksi. Ada yang merebus ubi, menggoreng pisang, menanak nasi, menggoreng ikan,
merebus air dan lain-lain. Makanan-makanan ini akan dikumpulkan dan dibagikan
setelah aksi berakhir.
Selain ikut aksi, ibu-ibu juga ikut pertemuan dengan
berbagai pihak yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang pabrik
semen. Ibu-ibu pernah datang dan menggugah hati Rustriningsih, wakil gubernur
Jawa Tengah, DPRD Kabupaten Pati serta DPRD Jawa Tengah. Ketika terjadi
kekerasan tanggal 22 Januari ibu-ibu datang melaporkan tindakan aparat
kepolisian kepada Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), Ombudsman, dan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan menggelar Konferensi Pers di
Jakarta.
Dari Domestik ke Politis
Dalam konteks perjuangan perempuan Kendeng, politik
perlawanan yang digunakan adalah dengan mengutamakan pendekatan yang sifatnya
domestik, hampir sama dengan yang dilakukan oleh Suara Ibu Peduli, misalnya
berbagi informasi dalam aktifitas (bersama), mengumpulkan uang, beras, memasak
makanan. Walaupun tidak dapat dipungkiri mereka juga menggunakan pendekatan
politis, yaitu mekanisme lobby dan hearing. Terkait dengan transformasi dari
cerita di atas sangat jelas menunjukan adanya transformasi pihak yang terlibat
dalam aktifitas tolak semen. Awalnya, perempuan yang ikut dalam upaya menolak
pabrik semen hanya Gunarti. Karena upaya Gunarti datang ke rumah-rumah warga,
menggugah hati ibu-ibu untuk bersama-sama menyatakan sikap kemudian ada banyak
perempuan yang kemudian dengan sadar menolak keberadaan pabrik Semen. Lima
perempuan yang datang ke Jakarta sebagai salah satu bukti bahwa bukan hanya
Gunarti yang menolak semen. Sementara, apakah gerakan perempuan Kendeng dapat
berkontribusi mengalahkan kekuatan pemerintah dan pabrik semen, seperti Suara
Ibu Peduli berkontribusi dalam penumbangan Rezim Suharto?
Perjuangan yang dilakukan warga (juga Perempuan Kendeng)
bukan tanpa hasil. Ada satu kemenangan bersama yang pernah menjadi hasil dari
segala upaya serta perjuangan mereka. Tanggal 16 Mei 2009 PT. Semen Gresik
menyatakan mundur dari Pati. Selain itu, gugatan PTUN yang dilakukan warga
bersama beberapa lembaga seperti LBH Semarang dan Wahana Lingkungan Hidup
terhadap Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) PT. Semen Gresik yang diterbitkan
Pemerintah Daerah Jawa Tengah, pada tingkat kasasi dimenangkan oleh warga. Hal
ini berarti seluruh perijinan yang diterbitkan Pemerintah terhadap PT Semen
Gresik dinyatakan batal demi hukum. Sehingga PT. Semen Gresik sementara tidak
bisa melakukan pembangunan pabrik di Kecamatan Sukolilo dan Kayen.23 Apakah
kemenangan ini benar-benar akan membatalkan pembangunan pabrik semen di kawasan
pegunungan Kendeng?
Ancaman Pabrik Semen Belum Berakhir
Nampaknya perjuangan Warga di kawasan pegunungan Kendeng
utara untuk menolak pabrik semen akan terus berlangsung. Setelah PT. Semen
Gresik tertunda pembangunannya, pemerintah propinsi Jawa Tengah kembali
menerbitkan ijin perpanjangan usaha kepada PT. SMS yang akan melakukan kegiatan
pertambangan semen di Kecamatan Tambakromo.24 Kecamatan ini masih berada di
kawasan pegunungan Kendeng Utara walaupun bergeser dari lokasi calon PT. Semen
Gresik. Penerbitan ijin ini lagi-lagi tanpa mendengarkan aspirasi warga yang
akan terkena dampak dari penambangan ini. Lantas, bagaimana dengan PT. Semen
Gresik? apakah perusahaan ini akan mundur dari Kecamatan Sukolilo dan Kayen?
Ternyata tidak, pemerintah propinsi Jawa Tengah mengajukan Peninjauan Kembali
(PK) terhadap Putusan (Kasasi) Mahkamah Agung terkait pembatalan SIPD PT. Semen
Gresik. Ini artinya ancaman pengrusakan lingkungan dan penghilangan sumber
kehidupan bagi warga di kawasan pegunungan Kendeng masih tetap ada.
Walaupun demikian, gerakan warga khususnya perempuan Kendeng
akan tetap ada. Dalam tulisan ini saya ingin menyimpulkan bahwa gerakan
(Perempuan) tolak semen di Pati adalah perpaduan antara gerakan Masyarakat
Sedulur Sikep dengan gerakan Petani. Perpaduan ini menjadi kekuatan yang cukup
kuat untuk melawan kebijakan pemerintah yang tidak adil serta pabrik semen yang
berpotensi merusak lingkungan. Ini menarik untuk dipelajari di tengah budaya
patriarkhi, perempuan turut mendampingi gerakan laki-laki. Mereka mulai
merangkak menuju pembebasan sebagai manusia. Mereka sudah menjadi subjek atas
diri mereka sendiri dan mau berkorban untuk menghidupi apa yang menjadi tujuan
bersama. Mereka tetap berhati-hati terhadap pihak luar, dan tak mau apa yang
mereka lakukan “terbeli” oleh sesuatu yang akan menghancurkan masa depan mereka
dan anak cucu mereka.
1 Kabupaten Pati dalam angka 2007
2 Kabupaten Pati dalam angka 2007
3 Harian Kompas, 1 Agustus 2008.
4 Suara Merdeka, 15 Maret 2008
5 Kompas, 5 Juni 2008batu
6 Laporan Penelitian Acintyacunya Speleological Club –ASC
tahun 2007
7 ibid
8 ibid
9 Koran SINDO, 10 November 2008
10 Live in di Desa Kedumulyo (Pelatihan Penelitian Yayasan
Interseksi), 4 November 2009
11 Data Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
(JMPPK)
12 Data Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
(JMPPK), 9 Juni 2008
13 Ibid
14 Ibid
15 Live in di Desa Kedumulyo (Pelatihan Penelitian Yayasan
Interseksi), 5 November 2009
16 Live in di Desa Kedumulyo (Pelatihan Penelitian Yayasan
Interseksi), 5 November 2009
17 Live in di Desa Kedumulyo (Pelatihan Penelitian Yayasan
Interseksi), 5 November 2009
18 Konferensi Pers Perempuan Pati di Kontras, 30 Mei 2011
19 Konferensi Pers Perempuan Pati di Kontras, 30 Mei 2011
20 Notulensi rapat Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng tanggal 19 Oktober 2008
21 Wawancara dengan Mbak Sri (Pelatihan Penelitian Yayasan
Interseksi), 6 November 2009
22 Live in di Desa Kedumulyo (Pelatihan Penelitian Yayasan
Interseksi), 5 November 2009
23 Siaran Pers LBH Semarang, ….
24 SK ESDM Propinsi Jawa Tengah No. 503/27/C/2010 tentang
Pemberian Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Mineral bukan Logam
PT. SMS
0 komentar:
Posting Komentar